Pengantar Pameran Colors of Angels

oleh Erica Hestu Wahyuni, Lully Tutus, dan Watie Respati

Plaza Indonesia, 1-17 Juli 2022

Pop-Up Gallery Talenta

Plaza Indonesia, level 2

 

MANUSIA-MANUSIA SENSIBEL

Sensibel? Ya, pada akhirnya setiap manusia (harus) membawa dirinya ke arah sadar akan hal yang baik dan buruk. Itulah sensibel.

Buat malaikat, menjadi sensibel tentu tak perlu. Tuhan sudah menempatkan mereka -yang tercipta dari cahaya itu- sebagai makhluk surgawi yang menyembah dan selalu taat kepada-Nya.

Dengan tugas-tugas tertentu, para malaikat ini tidak akan berdosa. Maka tak akan ada istilah fallen angel. Malaikat yang terjatuh (dalam dosa). Itulah mengapa malaikat digambarkan bersayap agar menjaganya tak ’terjerembab’ bila berjalan dengan kakinya.

Sebaliknya, manusia bisa berkali-kali dibuat ’jatuh’ dalam hidupnya. Setan pun ditugaskan untuk membuat manusia tak bisa sensibel. Biar takt ahu mana yang baik mana yang buruk. Kalau pun manusia bersayap, tak akan pernah sempurna trebang karena hanya sebelah atau patah.

——–

Ah harus seperti apa sih agar sensibel?

Erica Hestu Wahyuni, Lully Tutus, dan Watie Respati, memang bukan para malaikat itu. Tapi upaya menjadi manusia sensibel tentu selalu mereka lakukan. Sebagaimana adatnya berusaha, jatuh sakit berkali-kali dalam banyak rupa pasti mereka alami.

Setidaknya mereka pernah tersengut-sengut di tumpukan bantal dengan air mata. Yang di depan mata sering kali hanya terdiri dari sengsai (sengsara/derita/sedih). Badan sering senoyong (terhuyung-huyung seperti akan jatuh) karena selalu ditimpuk masalah.

Tapi tak jarang keberuntungan datang bertubi-tubi. Berkali-kali tanpa diminta, rezeki datang sekonyong-konyong seperti diantar tanpa ongkos kirim dan langsung di depan pintu rumah. Sering kali cinta meruah untuk mereka seperti hujan deras yang membuat adrenalin serasa merekah di puncak ubun-ubun.

Begitulah manusiawi. Up and down adalah pakem kehidupan. Erica, Lully, dan Watie pun mengalami itu.

Bersama dalam Colors of Angles, ketiganya -menurut amatan sata- adalah gambaran manusia-manusia yang sensibel itu. Menuju ke sana.

Dalam konteks itu, karya-karya yang dibawa ketiganya dalam pameran di Pop-Up Gallery Talenta, Plaza Indonesia, Level 2, adalah bagian perjalanan menjadi sensibel itu. Sesungguhnya, pameran bukanlah pencapaian. Tapi semacam proses itu sendiri.

Sebagai seniman mereka sedang mencoba berbuat sesuatu. Menabung catatan-catatan. Bisa jadi sebagai jalan untuk mencari jawaban-jawaban yang tak selalu ditemukan. Itu pun selama berjalan, bisa jadi tak menjamin akan tahu seperti apa hasilnya. Apalagi merasa telah meraih sesuatu pula.

Maka, sekalipun memasang karya, pameran berjudul Colors of Angles ini bukanlag etalase final seorang pelukis. Karya terkadang masih berupa ruang-ruang kosong yang harus dipahamkan untuk bisa melihat diri sendiri lebih dulu. Bukan untuk publik yang melihatnya. Setiap karya bisa jadi masih berupa kepingan-kepingan penuh misteri. Sama sekali bukan pembuktian tentang apa pun kepada siapa pun.

Untuk sampai pada Colors of Angels ini saja, proses mereka bertiga punya histori. Tak ada yang sekonyong-konyong. Apalagi instan.

 

 

Sebelum Color of Angels menyatukan, ketiganya bersama di Indeart House, Bantul, Yogyakarta, dalam art exhibition Well Done 26 Maret-9 Februari. Saat itu saya menyebut ketiganya ini sebagai trio steak. Mereka bertiga seperti bagian potongan daging steak terbaik; tenderloin, rib eye, dan sirloin. Dengan karya masing-masing ketiganya sedang trial menyuguhkan sesuatu yang nikmat di atas ‘pinggan’. Sedang berprosea ‘belajar’ bagaimana membuat hidangan steak menjadi istimewa. ‘Belajar’ cara menyantapnya dengan lebih baik sebagai jamuan kepada publik seni rupa. Andai steak itu disantap di sebuah restoran, mereka berupaya menunjukkan caranya dengan table manner yang pas. Bagaimana harus melengkapinya dengan pisau dan garpu agar layak disajikan dalam a candle light dinner yang romantis.

Belum well done, tapi mereka sedang berupaya menjadi well done. Istilah kulinari untuk menyebut tingkat kematangan daging steak yang merekah kecokelatan, bertekstur, dan kenyal alias ”matang dengan sempurna”.

Sebab -sekali lagi- semua tentu dengan proses. Seperti daging steak yang harus dipanggang 100 persen dalam suhu hingga 90 derajat Celcius. Harus terolah dengan marinasi agar citarasa. Tidak boleh rare, tidak medium-rare, tidak medium, dan tidak medium-well. Saat itu mereka memilih harus well done. Maka mereka berusaha ”selesai dengan baik”. Berada di posisi ”akhir yang baik”. Mencapai ”hasil yang baik”. Seperti arti well done.

Dalam kondisi yang terus menerus berproses agar well done itulah, ketiganya kini (mencoba) bersama-sama lagi. Bila semua butuh waktu, maka kehadiran mereka kali ini dalam Colors of Angels tentuk tidak bisa dikatakan instan. Untuk menjelma sebagai kupu-kupu saja, ulat perlu menjadi kepompong. Seyogianya, setiap orang melalui itu.

Sebab untuk menjadi manusia-manusia sensibel, ada tahap yang dilalui. Tak ada yang bisa seperti Bandung Bondowoso membangun candi dalam semalam. Ada waktu panjang yang dilalui. Ada perbuatan yang dijalani. Ada ritual yang dilakoni. Ada tahapan yang dilampaui. Ada persembahan yang dikorbankan. Ada banyak yang dipahami. Pun Colors of Angels.

Maka ketika Talenta membawa mereka bertiga dalam Colors of Angles hingga 17 Juli nanti, Erica, Lully, dan Watie ‘pernah’ berproses bersama. Ada pelajaran yang lalu untuk dijadikan menjadi lebih baik saat ini. Setidaknya mereka tahu apa yang disuguhkan kali ini. Sebagai karya akhir yang terbaik dari masing-masing, apa yang ditunjukkan adalah hasil tempaan yang panjang. Bahkan saja kemarin tapi sejak mula mengawali. Juga bukan semata berkarya semata yang menentukan hasil terbaik saat ini. Namun segala peristiwa dalam kehidupan yang mereka jalani sebagai apa pun, sejatinya ikut mewarnai Colors of Angels.

Sebagai ibu -misalnya- Erica, Lully, dan Watie tentu sangat tahu bagaimana tugas itu harus dijalankan selama ini di antara profesi pelukis yang ditekuni. Diakui, perjalanan sebagai perupa yang baik sedikit banyak ikut ‘diteguhkan’ oleh peran mereka sebagai ibu. Buat ketiganya, karya yang bagus bukan hanya tentang mencoret-coret di atas kanvas, tapi didukung oleh banyak faktor di luar itu, termasuk kepuasan membereskan  tugas mereka sebagai ibu yang penting ketimbang tampil di depan sebagai perupa. Tak ada yang simsalabim seperti sulap. Di luar kasih sayang Tuhan yang berlimpah, bukankah mukjizat Tuhan turun setelah manusia berdoa kepada-Nya.

Daya dan upaya inilah yang kemudian menjelma karya-karya untuk Colors of Angels. Erica dengan gaya naifvisme, dia tampil dalam Prosperity Never Ends, Blessing Sea, dan Great Harvest on Land and Sea. Seperti kekuatan Erica yang ikonik, gambaran masa kanak-kanak adalah visual yang tetap dipertahankan Erica.

 

 

Buat Erica, hanya masa anak-anaklah yang terindah. Masa ketika tidak ada kesedihan, benci, dendam atau amarah yang berlebihan. Semua anak berbicara dan berinteraksi atas nama perasaan. Kebencian baru muncul jika ada yang mengajarkan.

Viktor Lowenfeldt, dalam bukunya berjudul Creative and Mental Growth, mengemukakan teori periodisasi seni rupa anak. Karya seni rupa yang dibuat anak-anak mencerminkan usianya secara periodik. Mulai dari sribbling period hingga masa naturalisme semu. Tema-tema yang diusung tak jauh dari keseharian. Tentang orang yang dikasihinya dan lain-lain.

Ciri-ciri lukisan anak berdasarkan periodisasinya memiliki kekhasan masing-masing. Mulai dari coreng-moreng ketika masih balita (scribbling period), bentuk dasar geometris dengan warna sesukanya saat usia lima tahun (pre-schematic period), kemudian setelah usia 8 tahun mulai memunculkan perulangan bentuk, kesadaran untuk memunculkan ruang atau menggambar sesuai apa yang dipikirkannya atau ideoplastik (schematic period). Karya-karya Erica -secara konsisten- memunculkan semua kecenderungan itu.

Kekaguman Erica pada jiwa anak-anak itu sangat mempengaruhi cara pandangnya pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di depan matanya. Pun cara menyikapinya. Semua hal yang di-template dalam kerangka berpikir anak-anak -menurut Erica- akan terurai dengan lebih sederhana, tidak ruwet, dan berakhir happy ending.

Senada dengan gaya Erica, Lully menguasai pemikiran para dewasa dengan dunia fantasi yang sangat luas. Tak sulit bersenang-senang dengan karyanya. Semua bisa diandai-andaikan sejauh mungkin menjadi apa saja yang diinginkan. Tengok karya-karyanya yang berjudul Kidung Pengangen-angen, Kidung Samudra, Kala Mangsa, Gemebyar, Flying to The Moon dan The Dreamer.

 

 

Apakah fantasi yang dibawa Lully hanya berdaya untuk anak-anak? Lully meyakini bahwa orang dewasa yang sedang menghadapi dan mengatasi berbagai problem dalam hidupnya yang kompleks, sangat membutuhkan fantasi. Seperti anak-anak, orang dewasa ini bisa memperlakukan fantasi-fantasi itu sebagai ruang pelarian untuk masuk ke dunia baru di antara kegagalan, kekalahan, pengkhianatan, dan kekecewaan yang terjadi.

Lully berkali-kali mendapati efektivitas lukisan-lukisannya mampu berfungsi untuk hal-hal itu. Satu hal ini contohnya. Secara tak sadar, ilustrator majalah anak-anak Ini besutan Arswendo Atmowiloto itu di antaranya menampilkan figur anak perempuan. Buat Lully itulah anak perempuan satu-satunya yang tak lagi di pelukannya sejak 2016. Menghadirkannya dalam karya adalah salah satu cara Lully ‘menghidupkan’ dia kembali. Apakah sekadar fantasi? Lully sendirilah yang merasakan hal itu berdaya untuknya. Ada proses sensibel yang dilalui Lully dalam karya-karyanya.

Dalam arti yang lain, sensibel adalah tentang kepekaan. Makna yang satu ini menjadi penting karena setiap diri tak bisa dilepaskan dengan posisi yang lain, siapa pun apa pun di sekitar kita. Proses membutuhkan kepekaan ‘merasa’. Tanpa itu, kanvas yang bergambar pun hanya berisi kekosongan yang tak berarti. Melukis -kata Watie- bukan perkara menggambar sesuatu yang dilihat tapi juga menempa diri sendiri menjadi manusia yang tahu baik dan buruk (sensibel).

Wacana kepekaan itu kali ini amat terasa dalam karya-karya Watie. Sudah lama mulai menjauh dari visual yang mengeksplorasi figur-figur, dia sedang menapaki abstraksi proses yang dilaluinya sebagai dalam melukis. Pada enam lukisan berjudul Merimbun, Daun pun Bertasbih, Meranggas untuk Bersemi Kembali, Yang Tersurat dan Yang Tersirat, Senja yang Temaram, dan Kearifan di Tengah Beton Perkotaan, Watie sudah tak lagi bicara apa yang terpampang di atas kanvasnya.

Genre abstrak yang mulai dimasukinya pelan-pelan dan smooth, menantang Watie lebih peka mengungkapkan di luar yang dia rupakan. Pohon-pohon memang sedang lebih mengemuka. Objek favoritnya sejak lama. Tapi bukan itu yang dibicarakannya. Watie justru mengajak melompat jauh dari yang dia amati. Sesekali Watie mengajak merenung. Bahwa bisa saja ada banyak hal yang bisa membeludakkan emosi amarah sangat tinggi. Tapi sebagai manusia sensibel, Watie yang melukis Daun pun Bertasbih, mengingatkan sesuatu bahwa saat berada dalam situasi terendah, manusia perlu mengambil posisi vertikal untuk menguasai dirinya. Guna mencari kasih Tuhan. Bisa lewat seuntai rosario yang tergenggam di doa novena, atau tasbih yang berputar usai sujud tengah malam, atau dupa mewangi di sudut pura, atau hio merah tertancap di altar sembahyangan. Sebab daun pun begitu. Tak ada sehelai daun jatuh tanpa kehendak-Nya, bukan.

 

 

Dalam Senja yang Temaram, Watie lebih kontemplatif lagi. Semacam ada kekuatan yang bisa membantu seseorang bertahan atas keberatan menampung beban. Apakah itu? Watie menyiratkan pesan bahwa hanya jika manusia mengosongkan diri baru Dia akan mengisi kita. Segala masalah kan meringan dengan sendirinya seperti tanpa bobot. Betapa mudah menjadi sensibel ketika mengurai lukisan-lukisan Watie.

Bersama dalam kekuatan masing-masing, Erica, Lully, dan Watie berusaha menjadi Color of Angels itu. Mengamati karya ketiganya, terasalah bahwa selain kenyataan, hidup juga membutuhkan letupan-letupan fantasi-imajinasi-mimpi dan semua yang utopis, termasuk menjadi malaikat tanpa sayap barangkali. Dengan semua itu, ada kala kita akan ‘dilemparkan’ sewaktu-waktu pada ruang yang lebih baik besar, luas, menantang, dan mengasyikkan. Eloknya, mereka punya cara; berkarya. Kapan pun dibutuhkan, karya itu bisa dibuat sebagai oase untuk mereka sendiri. Orang lain juga bisa menikmati. Membawa masuk secara instan ke dalam emosi yang berisi rupa-rupa yang tak bisa diperoleh seluruhnya dalam kenyataan.

Sesungguhnya demikianlah sebuah proses itu dihargai. Mejadi apa pun; daya khayal, daya kreasi, daya imajinasi, daya juang, dan segala daya upaya tak terbatas yang dibutuhkan manusia untuk survive dan sensibel. Di wilayah yang seideal itu, semoga kita akan dituntun menciptakan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan cara yang tak instan. Berputar terus menerus. Tiada henti. Demikianlah yang sensibel itu. (*)

 

Heti Palestina Yunani

Jurnalis, penulis, tinggal di Surabaya

 

 

 

 

 

Erica Hestu Wahyuni
Prosperity Never Ends – Erica Hestu Wahyuni

 

 

 

Lully Tutus

 

 

Watie Respati